”Seperti air mengalir dari tempat yang
tinggi ke tempat yang rendah, demikian pula
hendaknya jasa yang dipersembahkan (oleh
kerabat dan keluarga) di alam manusia ini
dapat ikut dinikmati oleh para arwah (peta).
Seperti air dari sungai besar mengalir mengisi
lautan, demikian pula dengan jasa-jasa ini
dapat ikut dinikmati oleh para peta”
(Tirokudda Sutta, Khuddakapatha).
Latar Belakang
Sang Buddha berkata, hadiah terbesar yang dapat dipersembahkan
Seseorang kepada leluhurnya yang telah meninggal adalah melakukan “Tindakan
Jasa” dan melimpahkan jasa yang telah diperoleh ini. Pelimpahan jasa atau dalam
bahasa Pali sering disebut dengan Patti dana merupakan hal yang tidak asing
lagi dilakukan di kalangan masyarakat Buddhis. Tradisi penyaluran jasa sering
disalah mengerti oleh sebagian orang sebagai suatu ajaran yang bertentangan
dengan alasan kamma yang merumuskan bahwa semua makhluk memiliki dan
mewarisi perbuatannya masing-masing. Dalam kenyataan yang sebenarnya,
penyaluran jasa ti daklah menyimpang dari Hukum Kamma. Sebab, penyaluran
jasa bukanlah seperti halnya ‘mentranfer’ sejumlah uang simpanan di bank kedalam rekening orang lain, yang berarti berkurangnya jumlah
uang dalam rekening sendiri dan sebaliknya bertambahnya rekening orang lain. Penyaluran
jasa semata-mata merupakan suatu cara untuk ‘membuka peluang’ bagi orang lain
agar berbuat kebajikan sendiri dengan merasa ikut berbahagia atas kebajikan
yang telah dilakukan oleh orang yang menyalurkan jasa kepada dirinya. Kalau ti
dak tahu-menahu tentang adanya jasa kebajikan yang disalurkan oleh orang lain
kepada dirinya atau ti dak ikut berbahagia atas semua itu, suatu makhluk ti dak
akan memperoleh bagian apa pun. Pada pihak lain, seseorang yang menyalurkan
jasa kebajikan berarti melipatkan-gandakan jasa kebajikannya sendiri, entah
orang lain yang dituju dapat menerima dan memanfaatkan jasa kebajikannya
ataupun ti dak. Mengapa suatu jasa kebajikan dapat berlipat-ganda dengan disalurkan
kepada orang lain? Alasannya ialah bahwa selain telah berbuat jasa kebajikan
itu sendiri, seseorang berarti melakukan suatu kebajikan lain lagi, yaitu:
berniat atau berkehendak agar makhluk lain juga berbuat kebajikan. Penyaluran
jasa kebajikan dapatlah diibaratkan seperti penyulutan api ke lenteralentera lain
yang bukanlah menyuramkan melainkan justru memperterang cahaya itu sendiri. Pelimpahan
jasa bagi orang meninggal didasarkan pada kepercayaan bahwa pada kemati an
seseorang perbuatan baik atau perbuatan buruk yang dilakukannya menentukan di
alam mana ia akan terlahir kembali. Makhluk yang terlahir di alam yang lebih
rendah ti dak dapat menimbulkan jasa kebajikan baru dan mereka hidup dengan
jasa yang diperoleh dari dunia ini. Keti ka orang yang meninggal mengetahui
bahwa sanak keluarganya melakukan perbuatan baik maka diharapkan ia menjadi
gembira, dan kebahagiaan ini membebaskannya dari penderitaan.
Pengertian pelimpahan jasa
Asal-usul upacara pelimpahan jasa (Patti dana), terdapat dalamTirokudda-Sutta, Khuddaka Nikaya, Khudaka Patha VII, yang menjelaskan
tentang bentuk dan manfaat perbuatan bajik dalam penyaluran jasa kepada makhluk
lain yang ti dak nampak,yang mengalami penderitaan.
Pelimpahan jasa merupakan wujud bakti terhadap keluarga
yang telah meninggal dunia dengan cara menyalurkan jasa kebajikan. dalam kamus
bahasa Pali arti Patti dana adalah berdana dengan cara pelimpahan jasa. Patti
dana juga diarti kan sebagai memberikan inspirasi kebajikan/ kebahagiaan
bagi makhluk lain. Istilan patti dana jarang ditemukan di dalam
Tripitaka, meskipun merupakan kebiasaaan yang merakyat disemua Negara Buddhis.
Sering diterjemahkan sebagai “Pelimpahan Jasa”, walaupun pada kenyataan
sesungguhnya tidak ada sesuatu yang dilimpahkan. Setelah melakukan
jasa-jasa/perbuatan baik, maka seseorang (sanak keluarga) biasanya menyatakan
bahwa perbuatan baik ini dilakukan atas nama keluarga/leluhur yang telah
meninggal agar mereka turut berbahagia. Harapannya adalah mereka mengetahui
perbuatan baik yang telah dilakukan dan tumbuh pikiran ikut berbahagia dalam
batin mereka sehingga dapat terlahir kembali di alam bahagia. Dengan munculnya
pikiran ikut berbahagia di dalam batin mereka, berarti mereka melakukan perbuatan
baik sendiri, dengan perbuatan baik inilah akan membantu mereka untuk terlahir
di alam yang lebih baik.
Asal usul Pelimpahan Jasa
Asal usul patti
dana ini terdapat di Paramatthajotika (Ilustrasi Arti Terti nggi) yang
merupakan kitab komentar Khuddakapatha.
Di sana diceritakan, 92 kalpa yang lampau sekelompok orang mengorupsi apa yang
seharusnya dipersembahkan kepada Sangha yang dipimpin oleh Buddha Phussa.
Sebagai akibatnya mereka dilahirkan di alam-alam neraka selama 92 kalpa.
Dikalpa yang sekarang, saat Buddha Gotama, mereka terlahir kembali di alam
hantu kelaparan (peta) dan menunggu jasa kebajikan yang akan dilakukan
oleh Raja Bimbisara dari Magadha yang dulunya adalah kerabatnya. Telah
diprediksikan oleh Buddha Kassapa sebelumnya bahwa lewat Raja Bimbisaralah
mereka akan mampu mendapatkan makanan, minuman dan sebagainya. Tujuh minggu
setelah pencerahan, Sang Buddha Gotama pergi ke Benares, ibukota kerajaan
Magadha. Raja Bimbisara setelah mendengar Dhamma dan menjadi pemenang
arus, mendanakan makanan kepada Sang Buddha, namun ti dak membakti kannya untuk
kerabatnya yang terlahir di alam menderita. Karena para kerabatnya merasa
kecewa, mereka membuat suara-suara yang menyeramkan di malam hari. Ketika hal
ini diceritakan kepada Sang Buddha, Raja Bimbisara baru mengetahui sebab dan
bagaimana menyelesaikannya. Kemudian Raja mengundang Sang Buddha beserta Sangha
untuk menerima dana air, makanan, pakaian dan tempat tinggal. Raja kemudian
membaktikan setiap persembahan itu untuk kerabatnya. Barulah saat itu mereka
mendapat manfaat dari jasa kebajikan yang dibakti kan kepada mereka. Di akhir persembahan,
Sang Buddha memberikan khotbah Tirokuda Sutta yang merupakan
ringkasan ajaran akan peristiwa itu
Cara melakukan pelimpahan jasa
Dengan berbagai cara, sanak keluarga yang diti nggalkan berusaha
untuk melakukan sesuatu yang dianggap dapat bermanfaat bagi almarhum/ah yang
sangat dicintai. Di dalam Tirokudda Sutta, Sang Buddha menganjurkan cara
yang lebih bijaksana bagi sanak keluarga yang diti nggal mati , yaitu dengan
berdana makanan, minuman serta lain-lain kepada para Bhikkhu Sangha
dan selanjutnya menyalurkan jasa kebajikan yang timbul dari pemberian
dana ini kepada orang yang meninggal dunia (patti dana). Hanya
kiriman berbentuk ‘halus’ semacam ini yang mempunyai kemungkinan untuk
dapat dimanfaatkan oleh orang yang telah mati . Ibarat air yang mengalir
dari tempat yang tinggi menuju tempat yang rendah, ibarat hulu sungai
yang telah penuh niscaya membanjiri muara; demikian pula
penyaluran jasa yang dilimpahkan oleh sanak keluarga kepada
orang yang telah meninggal dunia.
Nagasena Thera menjelaskan dalam Kitab Milinda Panha bahwa penyaluran
jasa tidaklah dapat diterima oleh orang mati yang telah terlahirkan kembali di
alam surga, neraka atau binatang. Demikian pula yang terlahirkan kembali sebagai
hantu (peta) yang makan ludah, dahak dan muntahan (vantasika),
yang senanti asa kelaparan, kehausan dan kekurangan (khuppipasika), dan
yang senanti asa terberangus (nijjhamatadhika). Yang dapat menerima
penyaluran jasa ialah setan yang memang hidup bergantung pada makanan pemberian
orang lain dengan cara penyaluran jasa, atau yang tergolong dalam hantu yang
hidup berdasarkan dana dari orang lain (paradattupajivika peta). Dalam Tirokudda
Sutta disebutkan bahwa hantu Paradattupajivika adalah hantu yang
apabila ia ikut berbahagia terhadap perbuatan baik yang dilakukan oleh
keluarganya (manusia), maka ia dapat terlahir kembali di alam yang lebih baik
atau menyenangkan. Karena dengan ia ikut berbahagia (mudita), maka ia
telah melakukan perbuatan baik (kusala kamma), walaupun kamma ini
kecil bobotnya namun sangat membantu hantu tersebut untuk terbebas dari
kehidupannya sebagai hantu kelaparan agar terlahir kembali di alam yang lebih
baik. Jadi peta ini tertolong oleh karmanya sendiri yang dibuatnya
melalui pikiran dengan memunculkan mudita. Penyaluran jasa kepada orang
yang telah meninggal dunia hanya dapat dilakukan apabila orang yang telah
meninggal dunia terlahir di alam hantu kelaparan (Peta) yaitu Paradatt
upajivika, yang bersangakutan juga sebaiknya mengetahui adanya penyaluran
jasa yang ditujukan khusus kepada dirinya sehingga dapat berterima kasih atas
kebajikan ini. Penyaluran jasa kebajikan dalam Milinda Panha sangat bermanfaat
seperti yang diuraikan oleh Bhikkhu Nagasena
kepada Raja Milinda:
”Siapapun, O baginda, yang memberikan
persembahan, menjalankan moralitas
dan memperaktikkan Uposatha, dia akan
merasa gembira dan damai. Karena damai,
kebajikannya bahkan menjadi makin melimpah.
Bagaikan kolam yang segera terisi penuh lagi
dari segala arah setelah air mengalir keluar
dari satu sisi. Demikian juga, O baginda, jika
seseorang mengirimkan kebajikan yang telah
dilakukannya kepada orang lain, bahkan
selama seratus tahunpun kebajikannya akan
semakin tumbuh. Itulah sebabnya kebajikan
begitu hebat ” (Mild: 74).
Pelimpahan jasa dilakukan oleh pelaku perbuatan baik dan mengarahkan
pikirannya semoga almarhum mengetahui perbuatan baik yang dilakukan dan
almarhum dapat menikmati ”jasa” dari perbuatan baik. ”Pelimpahan jasa” sendiri
adalah ,perbuatan baik dan tidak ada yang hilang karena pelimpahan ini, tapi
malah menambah jasa baik bagi pelakunya. Ketika melimpahkan jasa kepada
almarhum, umat Buddha biasanya mengucapkan rumusan kata-kata pendek dalam
bahasa Pali:
”Idam vo nati nam
hotu sukhita hontu natayo”, ”
semoga jasajasa ini melimpah kepada sanak keluarga, semoga
mereka berbahagia.”. Di Negara-negara Buddhis, setelah pemberian dana kepada
Sangha, anggota-anggota Sangha dengan serentak mengulangi pelimpahan jasa
kepada almarhum sebagai berikut:
”Seperti air mengalir dari tempat yang ti nggi ke tempat yang
rendah, demikian pula hendaknya jasa yang dipersembahkan (oleh kerabat dan
keluarga) di alam manusia ini dapat ikut dinikmati oleh para hantu kelaparan (peta). Seperti air dari sungai besar
mengalir mengisi lautan, demikian pula dengan jasa-jasa ini dapat ikut
dinikmati oleh para hantu tersebut”.
Proses
pelimpahan jasa ini dapat diumpamakan dengan seorang anak yang menuntut ilmu di
kota lain memberitakan kabar
kelulusannya kepada orangtuanya di kota kelahirannya. Mendengar kabar gembira
ini, ayah dan ibunya tentunya akan
merasakan
kebahagiaan. Padahal apabila direnungkan, si anak yang lulus tetapi mengapa
orangtuanya juga merasakan kebahagiaan? Inilah yang disebut pikiran ikut
berbahagia (mudita citta) atau
ikut bergembira atas kebahagiaan yang dirasakan oleh orang lain. Mudita citta adalah termasuk melakukan
salah satu karma baik lewat pikiran. Oleh karena itu, kondisi demikian inilah
yang dimunculkan oleh seorang umat Buddha apabila melimpahkan jasa kebaikan
yang dilakukannya.
kepada sanak keluarganya yang sudah meninggal. Metode untuk
pelimpahan jasa cukup sederhana. Pertamatama dilakukan suatu perbuatan baik.
Pelaku perbutan baik hanya perlu berharap agar kebaikan yang telah diperolehnya
terkumpul pada seseorang secara khusus. Harapan ini dapat sepenuhnya batiniah
atau dapat disertai dengan ungkapan kata-kata. (Dhammananda, 2005: 447).
Dengan demikian jelas bahwa pelimpahan jasa dapat dilakukan
di mana saja tanpa harus melakukan ritual-ritual tertentu ataupun terkait waktu
dan tempat, yang terpenting sebelum melakukan pelimpahan jasa harus ada perbuatan
baik yang dilakukan dan setelah itu pelaku mengarahkan pikirannya kepada orang
yang telah meninggal tersebut dan mengajak agar almarhum ikut berbahagia atas
perbuatan baik yang telah dilakukan. Menurut Sang Buddha, dalam semua tindakan pikiranlah
yang benar-benar berarti , dan pelimpahan jasa pada hakikatnya adalah tindakan
pikiran. Hal lain yang perlu diperhatikan dalam melakukan pelimpahan jasa
adalah Kedekatan hubungan dengan yang meninggal. Karena itu, proses patti
dana sebaiknya mengikutsertakan orang orang yang memiliki kedekatan
hubungan dan emosi dengan mereka yang meninggal, karena proses ajakan
bergembira makan makin kuat dibandingkan dengan yang tidak dikenal sama sekali.
Bagaimana jika orang yang ikut melakukan pelimpahan jasa tidak memiliki
kedekatan emosi/ tidak mengenal orang yang di-patti dana-kan? Tindakan
pelimpahan jasa itu sendiri adalah merupakan suatu perbuatan baik, walaupun
orang yang ikut dalam pelimpahan jasa tidak mengenal almarhum, namun sebenarnya
orang yang bersangkutan telah ikut melakukan sebuah perbuatan baik sehingga
meningkatkan kebaikan yang telah diperoleh pelaku kebajikan tetap akan
menikmati hasilnya. Jadi, lakukanlah kebajikan sebanyak mungkin.
Kesimpulan
Pelimpahan jasa (pattidana)
merupakan ungkapan rasa bakti kepada para leluhur yang telah meninggal dunia.
Peimpahan jasa dilakukan dengan harapan agar orang yang telah meninggal mengetahui
perbuatan baik yang dilakukan dan kemudian ikut berbahagia (mudita citta) atas perbuatan baik
yang dilakukan sehingga dapat terlahir di alam-alam bahagia. Sebelum seseorang
melakukan pelimpahan jasa, seseorang harus melakukan ti ndakan/perbuatan baik
terlebih dahulu. Makhluk yang dapat menerima
penyaluran jasa ialah makhluk Peta yang memang hidup bergantung pada makanan
pemberian orang lain dengan cara penyaluran jasa atau disebut juga sebagai Paradatt
upajivika Peta. Dengan melakukan pelimpahan jasa maka orang yang melakukan
pelimpahan jasa tersebut
sebenarnya telah melakukan sebuah perbuatan baik yang dapat
meningkatkan kebaikan yang telah diperoleh, dengan demikian pelaku pelimpahan
jasa ti dak akan kehabisan perbuatan baik yang telah diperbuatnya, malah akan
menambah kebajikannya, oleh karenanya marilah kita melakukan perbuatan baik sebanyak-banyaknya
karena perbuatan baik adalah merupakan simpanan harta sejati .
Daftar Pustaka
Dhammananda,
Sri. 2002. Keyakinan Umat Buddha. Jakarta:
Yayasan
Penerbit Karaniya & Ehipasiko Foundati on.
Wowor,
cornelis. 2003. Buku pelajaran Agama Buddha, Sekolah
Menengah
Atas. Jakarta: CV. Felita Nursatama lestari.
Khuddakapatha,
jilid 3. 2006. Terjemahan: Lanny Anggawati &
Wena
Cinti awati . Wisma Sambodhi,Klaten.
The Debate Of King Milinda (Milinda Panha). 2002. Terjemahan:
Lanny
Anggawati & Wena Cinti awati . Wisma Sambodhi,
Klaten.
Widya.K
, Dharma. 2005. Kompilasi Isti lah Buddhis. Jakarta:
Yayasan
Dana Pendidikan Buddhis Nalanda.
Majalah
Dharma Prabha, edisi 46. 2005. ”Pelimpahan Jasa dan
Ulambana”.
Limiadi,
Rudi. ”Patti dana”. 2007. Milist Vidyasena.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar